BAB
I
PENDAHULUAN
A. LATAR
BELAKANG
Perkawinan atau pernikahan merupakan
pintu gerbang untuk membentuk sebuah keluarga. Pernikahan biasanya
disempurnakan dengan acara walimah yang dilaksanakan sebagai wujud rasa syukur
kepada Allah SWT dan khayalak ramai’ atas pernikahan tersebut.
Pernikahan dapat menghalalkan hubungan
seksual antara keduanya dengan dasar sukarela dan persetujuan bersama demi
terwujud nya keluarga yang dirhidoi Allah SWT.
Dengan adanya pernikahan berarti
menyelamatkan masyarakat dari maraknya perzinahan, kaum wanita memperoleh
sejajaran derajad di masyarakat. Syar islam akan semakin berkembang,
menyemarakkan pernikahan memang anjuran oleh syariat islam.
B. RUMUSAN
MASALAH
1. Apa
ketentuan pernikahan
2. Apa
penyebab putusnya pernikahan
3. Bagaimana
ketentuan pernikahan menurut perundang-undangan di Indonesia
C. TUJUAN
1. Mengetahui
ketentuan pernikahan
2. Mengatahui
penyebab putusnya pernikahan
3. Mengetahui
ketentuan pernikahan menurut perundang-undangan di Indonesia
BAB
II
PEMBAHASAN
A. KETENTUAN
PERNIKAHAN
1. PENGERTIAN
NIKAH
Nikah
menurut bahasa berarti menghimpun atau mengumpulkan. Pengertian nikah menutut
bahasa berarti adalah suatu ikatan lahir batin antara seorang laki-laki dan
perempuan yang bukan muhkrim sebagai suami istri dengan tujuan untuk membina suatu
rumah tangga yang bahagia berdasarkan tuntunan Allah SWT.
Pengertian
menikah menurut undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan, perkawinan
yaitu ikatan lahir batin antara seorang pria dengan wanita sebagai suami istri
dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal
berdasarkan ketuhanan yang maha esa. Ada beberapa ayat AL Qur’an yang berisi
berintah menikah sebagai berikut.
Artinya;
dan diantara tanda-tanda (kebesaran)-Nya ialah dia menciptakan
pasangan-pasangan untukmu dari jenismu sendiri, agar kamu cenderung dan merasa
tentram kepadanya. Dan dia menjadikan di antaramu rasa kasih dan sayang.
Sungguh, pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda(kebesaran allah) bagi kaum
yang berfikir. (Q.S. ar-Rum [30]; 21)
Hukum
menikah adalah sunah muakkad, tetepi sudah berubah sesuai dangan kondisi dan
niat seseorang. Jika seseorang menikah dengan diniatkan sebagai usaha untuk
menjauhi dari perzinaan, hukumnya sunah. Akan tetapi, jika diniatkan untuk
sesutu yang buruk, hukumnya menjadi makruh, bahkan haram. (Sulaiman Rasyid.
1996. Halaman 382)
2. RUKUN
NIKAH
Rukun
nikah merupakan hal-hal yag harus dipenuhi agar pernikahan menjadi sah. Jika
hal-hal tersebut tidak dipenuhi berarti pernikahan dianggap belum terjadi.
Rukun nikah sebagai berikut:
a.
Ada mempelai yang akan
menikah.
b.
Ada wali yang
menikahkan.
c.
Ada ijab dan qabul dari
wali dan mempelai laki-laki.
3. SYARAT
NIKAH
a.
Calon suami telah baliq
dan berakal
Calon
suami di syaratkan telah baliq dan berakal. Calon suami juga disyaraatkan tidak memiliki halangan syar’i
untuk menikahi wanita tersebut.
b.
Calon Istri yang Halal
Dinikahi
Calon
istri disyaratkaan wanita yang halaal dinikahi dan beersedia dinikahi.
c.
Lafal Ijaab dan Kabul
Harus Bersifat selamanya
Ijab
merupakaan pernyataan yang pertama yang dikemukakan oleh salah satu pihak yang
mengandung keinginan secara pasti untuk mengikatkan diri. Kabul merupakan
pernyataan pihak lain yang menyatakan diri menerima pernyataan ijab tersebut.
d.
Dua Orang Saksi
Syarat-syaratnya:
1)
Cakap bertindak secara
hukum (balig dan berakal).
2)
Minimal dua orang
3)
Laki-laki
4)
Merdeka
5)
Orang yang adl
6)
Muslim
7)
Dapat melihat (menurut
ulama Mazhab
8)
Syafi’i).
(Sulaiman
Rasyid. 1996. Halaman 384)
e.
Identitas Pelaku Akad
Diungkapkan Secara Jelas
Menurut
Mahzab Syafi’i dan Hambali, seorang wali yang menikahkan anaknya dengan seorang
laki-lki tanpa disebutkan identitas atau ciri-cirinya, akad tersebut tidak sah.
Akan tetapi, jika disebutkan, nikahnya sah.
f.
Wali Harus Memenyhi Syarat-syarat
:
1)
Laki-laki,
2)
Balig dan berakal
sehat,
3)
Beragama islam,
4)
Merdeka,
5)
Memiliki hak perwalian,
6)
Tidak ada halangan
untuk menjadi wali, dan
7)
Adil
4. MACAM-MACAM
PERNIKAHAN
Ketentuan
dalam pernikahan berdasarkan hukum islam ini menjadi acuan Undang-Undang Nomor
1 Tahun 1974 tentang Perkawinan sebagai dasar hukum pelaksanaan pernikahan bagi
umat islam. Dalam perkembangannya, masyarakat kita saat ini mengenal beberapa
macam pernikahan, misalnya nikah sirri, mut’ah, dan poligami.
a.
Nikah Sirri
Nikah sirri adalah pernikahan yang
dilakukan tanpa proses percatatan oleh pemerintah yang wewenangnya ada pada KUA
(Kantor Urusan Agama). Nikah dengan cara ini disebut sirri yang secara bahasa
berarti diam-diam. Oleh karena tanpa percatatan dari pemerintah, nikah sirri
cenderung merugikan salah satu pihak, khususnya perempuan jika terjadi masalah
dalam pernikahannya.
b.
Nikah Mut’ah
Nukah mut’ah yaitu seseorang menikah
dalam batas waktu tertenti dengan memberikan kepada seorang perempuan berupa
harta, makanan, atau pakaian. Ketika waktu yang disepakati sudah selesai, merka
dengan sendirinya berpisah tanpa harus melalui perceraian. Dengan demikian,
tidak berlaku hak waris mewarisi. Pernikahan jenis ini dilarang oleh Rasulullah
karena bertentangan dengan nilai keadadilan dalam islam.
c.
Poligami
Poligami adalah menikahnya seorang
laki-laki dengan perempuan dengan jumlah lebih dari satu, maksimal empat. Dalam
isalam, seorang laki-laki dibolehkan melakukan poligami (Q.S an-Nisa’ [4]: 3),
tetapi dengan syarat-syarat tertentu yang tidak mudah, misalnya harus adil,
bisa memenuhi kebutuhan stri, dan terhindar dari perselisihan antara istri.
Oleh karena itu, bagi yang tidak bisa memenuhi syarat tersebut, dianjurkan
untuk monogami (bristri satu).
5. HIKMAH
PERKAWINAN
Nikah
merupakan pertemuan antara dua cinta, cinta seorang wanita dengan laki-laki dan
cinta seorang lak-laki kepada wanita. Pada dasarnya cinta merupakan sesuatu
yang suci, tergantung bingkainya. Jika cinta dibingkai dengan cinta yang halal,
cinta akan menjadi halal. Untuk menjadikan cinta sesuatu yang halal, Islam
mengajarkan kepada umatnya untuk membingkainya dalam suatu pernikahan.
Pernikahan
merupakan sebuah perjanjian suci yang menjadikan Allah Swt. Sebagai pemersatunya. Dengan pernikahan,
cinta dan kasih sayang terasa lebih nikmat dan menyenangkan. Menikah dalam
islam bukan hanya didasari oleh ketertariakan secara fisik. Puncak dari
keindahan pernikahan adalah munculnya keindahan kepribadian dan akhlak yang
mulia pada diri suami atau istri.
B. PUTUSNYA
PERKAWINAN
Penyebab putusnya pernikahan sebagai
berikut :
1. Meninggal
Dunia
Jika salah satu pihak suami atau istri
meninggal dunia, pernikahan dengan sendirinya putus atau berakhir. Jika salah
satu pihak, ditinggal mati oleh pasangannya, hubungan perkawinannya menunjukkan
telah berakhir.
2. Perceraian
Perceraian dapat disebabkan oleh
beberapa hal sebagai berikut :
1) Talak
Pengertian talak menurut bahasa adalah
melepaskan ikatan, meninggalkan, dan memisahkan. Pengertian talak menurut
istilah adalah putusnya tali pernikahan yang telah dijalin oleh suami istri.
Talak merupakan alternatif terakhir jika pernikahan sudah tidak mungkin
dipertahankan lagi. Talak boleh dilakukan dan halal hukumnya, tapi perbuatan
tersebut dibenci oleh Allah Swt. Perhatikan sabda Rasulullah saw. Berikut ini.
Artinya:
Dari Ibnu Umar, ia berkata bahwa Rasulullah saw. Telah bersabda, “Sesuatu yang
halal yang sangat dibenci oleh Allah ialah talak.” (H.R Abu Daud dan Ibnu
Majah)
Setiap suami berhak menalak istrinya
sampai tiga kali atau talak tiga. Hak talak berada di tangan suami. Meskipun demikian,
Islam memberi hak kepada istriuntuk menuntut cerai kepada suami yang telah
melanggar ketentuan-ketentuan pernikahan. Hak istri untuk menuntut cerai berupa
hak khulu’(talak tebus). Dengan adanya hak khulu’, terdapat keseimbangan hak
suami istri.
1)
Sebab-Sebab Talak
Ada beberapa penyebab talak sebagai
berikut.
a)
Li’an
Li’an merupakan tuduhan merlakukan zina
dari seorang suamiterhadap istrinya. Li’an bisa berbentuk tuduhan suami
terhadap istri bahwa istri telah melakukan zina, sementara ia tidak bisa
mendatangkan empat orang saksi. Dapat berbentuk penolakan bahwa anak yang di
kandung istri bukan anak-anak nya. Li’an mengakibatkan terjadinya perceraian
antar suami istri untuk selamanya. Jika setelah bercerai tuduhan suami tidak
benar, menurut jumhur ulama mereka tidak boleh menikah untuk selamanya.
(Ensiklopedi Islam 5. 1993. Halaman 60)
b)
Iia’
Iia’ merupakan sumpah suami yang
menyatakan bahwa dia tidak akan menggauli istrinya selama empat bulan atau
lebih. Suami boleh menggauli istrinya kembali setelah membayar kafarat. Kafarat
iLa’ adalah memerdekakan budak. Jika tidak mampu , memberi makan sepuluh orang
miskin atau memberi pakaian meraka. Jika
tidak sanggup menunaikan nya, ia harus berpuasa salama tiga hari.
Menurut jumhur ulama, jika waktu
empat bulan telah lewat dan istri telah
meminta suaminya untuk kembali dengan menunaikan kafarat, tetapi suami
tidak mau, hakim harus memberi pilihan kepada suami untuk kembali kepada istri
atau kennalan nya. Jika suami tidak mau memilih, hakim menjatuhkan talak dan dianggap sebagai talak raj’i.
(Ensiklopedi Islam 5. 1993. Halaman 60)
2)
Macam-Macam Talak
Talak dilihat dari segi menjatuhkannyadibagi
menjadi dua sebagai berikut.
a)
Talak Sunny
Talak
sunny yaitu talak yang dijatuhkan sesuai dengan sunnah atau syariat islam, yaitu:
(1)
Menalak istri harus
secara bertahap (dimulai dengan talak satu, dua, dan tiga): serta
(2)
Istri yang ditalak
dalam keadaan sucidan belum digauli.
b)
Talak bid’i
Talak
bid’i merupakan talak yang dijatukan melalui cara-cara yang tidak sesuai dengan
syariat islam, yaitu:
(1)
Menalak istri dengan
tiga kali talak sekaligus:
(2)
Menalak istri dalam
keadaan haid:
(3)
Menalak istri dalam
keadaan nifas: dan
(4)
Menjatuhkan talak
kepada istri yang dalam keadaan suci, tetapi telah digauli sebelumnya, padahal
kehamilannya belum jelas.
Talak dilihat dari segi boleh tidaknya
suami istri rujuk dibagi menjadi dua sebagai berikut.
a)
Talak raj’i
Talak
raj’i yaitu talak yang dijatuhkan suami kepada istri sebanyak satu atau dua
kali. Talak raj’i menyebabkan suami masih boleh rujuk kepada istrinya tanpa
harus melakukan akad nikah lagi. Talak raj’i berakibat pada berkurangnya
bilangan talak yang dimiliki suami.
b)
Talak ba’in
Talak
bai’in yaitu talak yang dijatuhkan suami kepada istri dan suami boleh kembali
kepada istri degan akad dan mahar baru. Talak bain dibagi menjadi dua, yaitu
talak ba’in sugra dan talak ba’in kubra. Jika suami ingin kembali kepada istri
yang telaj ditalak ba’in kubra, harus terpenuhi syarat-syarat sebagai berikut.
1)
Mantan istri telah
menikah dengan pria lain.
2)
Telah dicampri oleh
suami barunya.
3)
Telah diceraikan oleh
suami barunya.
4)
Telah habis masa idah
sesudah cerai dengan suami barunya.
(Ensiklopedi
Islam 5. 1993. Halaman 56-57)
Berkaitan dengan syarat yang disebutkan diatas, Allah
Swt. Berfirman yang artinya:
Kemudian
jika ia menceraikannya (setelah talak yang kedua),maka perempuan itu tidak
halal lagi baginya sebelum dia menikah dengan suami yang lain.kemudian jika
suami yang lain itu menceraikannya, maka tidak ada dosa lagi keduanya (suami
pertama dan bekas istri)untuk menikah kembali jika keduanya berpendapat akan
dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Itulah ketentuan-ketentuan Allah yang
diterangkan-Nya kepada orang-orang yang berpengetahuan.(Q.S. albaqarah [2]: 230)
2)
Khulu’
Khulu’ (talak tebus) merupakan talak yang diucapkan
suami dengan cara istri membayar ganti rugi atau mengembalikan mahar yang
pernah diterima dari suami. Khulu’ dilakukan suami atas permintaan istri karena
sikap suami yang telah melanggar ketentuan pernikahan. Jika pernikahan tersebut
dipertahankan, akan menyebabkan tidak tercapainya tujuan pernikahan.
Khulu’ merupakan salah satu bentuk keseimbangan hak
antara suami istri. Jika suami memiliki hak menjatuhkan talak, seorang istri
memiliki hak untuk menuntut dijatuhkannya talak jika suami telah melanggar
ketentuan pernikahan. Ketika seorang istri mengajukan khulu’, ia memberikan
ganti rugi kepada suami dengan cara mengembalikan seluruh atau sebagian mahar
yang pernah diterimanya. Selain itu, tebusan atau ganti rugi juga dapat
dilakukan dengan harta lain yang bukan mahar. Perhatikan firman Allah Swt yang
artinya:
…jika kamu
(wali) khawatir bahwa keduanya tidak mampu menjalankan hukum-hukum Allah, maka
keduanya tidak berdosa atas bayaran yang (harus) diberikan (oleh istri) untuk
menebus dirinya. Itulah hukum-hukum Allah, maka janganlah kamu melanggarnya.
Barang siapa yang melanggar hukum-hukum Allah, mereka itulah orang-orang zalim.
(Q.S. al-baqarah [2]: 229)
Khulu’ berakibat pada suami atau istri. Khulu’
mengakibatkan hal-hal sebagai berikut.
a. Terjadinya talak ba’in jika unsur ganti ruginya
terpenuhi dan jika unsur ganti rugi tidak ada, perceraian ini merupakan talak
biasa.
b. Mahar yang menjadi tanggungan suami juga gugur dari
hak istri jika ganti rugi khulu’ tersebut bukan mahar.
c. Gugurnya seluruh yang berhubungan dengan harta
diantara kedua belah pihak jika harta itu diperoleh setelah khulu’ terjadi.
d. Segala bentuk nafkah yang wajib ditunaikan suami
sebelum khulu’ gugur setelah terjadinya khulu’.
e. Nafkah istri selama masa idah tidak gugur dan wajib
dibayarkan suami.
3) Fasakh
fasakh merupakan salah satu penyebab putusnya
pernikahan. fasakh merpakan batalnya akad atau lepasnya ikatan perkawinan
antara suami istri yang disebabkan terjadinya cacat atau kerusakan pada akad
itu sendiri, atau disebabkan hal-hal yang datang kemudian yang menyebabkan akad
tidak dapat dilanjutkan.
fasakh yang disebabkan adanya cacat atau kerusakan
yang terjadi dalam akad nikah, seperti berikut.
a. setelah akad dilakukan, diketehui bahwa pasangan itu
ternyata saudara sekandung, seayah seibu, atau saudara sepersusuan.
b.
seorang
anak yang belum baligh (lelaki atau perempuan) dinikahkan oleh walinya yang
bukan ayah atau kakeknya kemudian anak ini mencapai usia baligh, ia berhak
untuk memilih (hak khiar), perkawinan yang telah diakadkan itu diteruskan atau
dihentikan.hak ini dinamakan khiyar bulug
(hak pilih setelah seseorang sampai usia balig). jika salah seorang di
antara anak yang telah balig tersebut memilih untuk tidak melanjutkan
perkawinan tersebut, akad ini dianggap fasakh. (Ensiklopedi Hukum Islam 1. 1997. Halaman 317)
Adapun fasakh yang disebabkan sesuatu yang datang
kemudian pada akad sehingga akad tersebut tidak dapat dilanjutkan seperti
berikut.
1) jika suami istri dahulunya non-islam, kemudian
istrinya masuk islam. pada saat itu juga akad tersebut batal karena muslimah
dilarang menikah dengan laki-laki musyrik.
2) jika salah seorang dari suami istri murtad atau keluar
dari agama islam untuk selamanya.
(Ensiklopedi
Hukum Islam 1. 1997. Halaman 317)
C.
KETENTUAN
PERNIKAHAN MENURUT PERUNDANG-UNDANGAN DI INDONESIA
Di Indonesia undang-undang
yang membahas tentang pernikahan adalah Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan. undang-undang ini mengatur pernikahan di Indonesia. Di
antara isi pokok Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan sebagai
berikut.
1. Tujuan Perkawinan
Tujuan perkawinan sebagaimana dijelaskan dalam pasal 1
Undang-undang 1974 tentang Perkawinan adalah membentuk keluarga (rumah tangga)
yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
2. Pencatatan Perkawinan
Pasal 2
(1) Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut
masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.
(2) Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut
perundang-undangan yang berlaku.
Pasal didepan manjelaskan tentang pencatatn
perkawinan. sebuah perkawinan dianggap sah jika dilakukan menurut hukum
masing-masing agamanya dan kepercayaannya serta dicatat menurut
perundang-undangan yang berlaku.
3. Larangan Perkawinan
Pasal 8
perkawinan dilarang antara dua orang yang:
1) berhubungan darah dalam garis keturunan lurus ke bawah
ataupun ke atas.
2) berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping,
yaitu antara saudara, antara seorang dengan saudara orang tua, dan antara
seorang dengan saudara neneknya.
3) berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri, menantu,
dan ibu/bapak tiri.
4) berhubungan susuan, yaitu orang tua susuan, anak
susuan, saudara sususan, dan bibi/paman susuan.
5) berhubungan saudara dengan istri atau sebagai bibi
atau kemenakan dari istri, dalam hal seorang suami beristri lebih dari seorang.
6) mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan
lain yang berlaku, dilarang kawin.
Pasal 8 menjelaskan orang-orang yang dilarang menikah.
jika diperhatikan larangan menikah tersebut berlaku bagi orang yang masih
memiliki hubungan darah, hubungan semenda, hubungan susuan, dan memiliki
hubungan yang oleh agama dilarang menikah.
4. Batalnya Perkawinan
Pasal 22
Perkawinan dapat dibatalkan apabila para pihak tidak
memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan.
Pasal 23
yang dapat mengajukan pembatalan perkawinan yaitu:
1) Para keluarga dalam garis keturanan lurus ke atas dari
suami atau istri;
2) Suami atau istri;
3) Pejabat yang berwenang hanya selama perkawinan belum
diputuskan;
4) Pejabat yang ditunjuk tersebut ayat (2) pasal 16 undang-undang
ini dan setiap orang yang mempunyai kepentingan hukum secara langsung terhadap
perkawinan tersebut, tetapi hanya setelah perkawinan itu putus.
Kedua pasal di depan menjelaskan bahwa suatu
perkawinan dapat dibatalkan jika para pihak tidak memenuhi syarat-syarat untuk
melangsungkan perkawinan. Selain itu, pasal23 menjelaskan tentang orang-orang
yang berhak mengajukan pembatalan perkawinan.
5. Penyebab Putusnya Perkawinan
Pasal 38
Perkawinan dapat putus karena:
1) Kematian,
2) Perceraian, dan
3) Atas putusan pengadilan.
Penyebab
putusnya perkawinan menurut pasal 38 adalah kematian salah satu pihak,
perceraian, dan atas keputusan pengadilan.
6. Akibat Putusnya Perkawinan
Pasal 41
Akibat putusnya perkawinan karena perceraian ialah:
1) Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan
mendidik anak-anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak, bilamana ada
perselisihan mengenai penguasaan anak-anak, pengadilan memberi keputusannya.
2) Bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya
pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan anak itu, bilamana bapak tersebut
dalam kenyataan tidak memenuhi kewajiban tersebut, pengadilan dapat menentukan
bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut.
3) Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk
memberikan biaya penghidupan dan/atau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas
istri.
Sebagaimana dijelaskan dalam pasal 38 bahwa perceraian
merupakan slah satu penyebab putusnya perkawinan. Putusnya perkawinan membawa
akibat sebagaimana dijelaskan dalam pasal 41.
7. Kedudukan Anak
Pasal 42
Anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau
sebagai akibat perkawinan yang sah.
Pasal 43
(1) Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya
mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya.
(2) Kedudukan anak tersebut ayat (1) di atas selanjutnya
akan diatur dalam Peraturan Pemerintahan.
Pasal 44
(1) Seorang suami dapat menyangkal sahnya anak yang
dilahirkan oleh istrinya, bilamana ia dapt membuktikan bahwa istrinya telah
berzina dan anak itu akibat daripada perzinaan tersebut.
(2) Pengadilan memberikan keputusan tentang sah / tidaknya
anak atas permintaan yang berkepentingan.
Pasal 42-44 menjelaskan tentang kedudukan anak.
Seorang anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah merupakan
anak yang sah menurut pasal
42. Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya memiliki hubungan perdata
dengan ibunya dan keluarga ibunya. Demikinan dijelaskan dalam pasal 43 (1).
Dapat dipahami bahwa seorang anak yang dilahirkan di luar perkawinan tidak
memiliki hubungan perdata dengan ayah dan keluarga ayahnya.
Pasal 44 menjelaskan bahwa seorang suami dapat
menyangkal sahnya anak yang dilahirkan oleh istrinya. Hal tersebut dapat dilakukan
jika suami dapat membuktikan bahwa istrinya telah berzina dan anak tersebut
meruppakan akibat dari perzinaan. Pengadilan dapat memberikan keputusan tentang
sah atau tidaknya anak atas permintaan yang berkepentinga.
8. Perkawinan di Luar Indonesia
Pasal 56
(1) Perkawinan yang dilangsungkan di luar Indonesia antara
dua orang warga negara Indonesia atau seorang warga negara Indonesia denga
warga negara asing adalah sah bilamana dilakukan menurut hukum yang berlaku dii
negara di mana perkawinan itu dilangsungkan dan bagi warga negara Indonesia
tidak melanggar ketentuan-ketentuan undang-unndang ini.
(2) Dalam waktu 1 (satu) tahun setelah suami istri itu
kembali di wilayah Indonesia, surat bukti perkawinan mereka harus didaftarkan
di Kantor Pencatatan Perkawinan tempat tinggal mereka.
Pasal 56 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 menjelaskan
tentang perkawinan yang dilaksanakan di luar Indonesia. Perkawinan yang
dilaksanakan di luar Indonesia dapat di lakukan oleh dua orang warga negara
Indonesia atau salah satunya warga negara Indonesia dengan warga asing.
Perkawinan yang dilaksanakan di luar Indonesia sah jika dilakukan menurut hukum
yang berlaku di tempat perkawinan tersebut dilangsungkan dan bagi warga negara
Indonesia tidak melanggar undang-undang ini.
9. Perkawinan Campuran
Pasal 57
Yang
dimaksud dengan perkawinan campuran dalam undang-undang ini ialah perkawinan
antara dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan, karena
perbedaan kewarganegaraan dan salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia.
Pasal
57 menjelaskan tentang perkawinan campuran. Campuran yang dimaksud di sini
adalah dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan karena
adanya perbedaan kewarganegaraan dan salah satu pihak berkewarganegaraan
Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar